Prayungan-bjn.desa.id (08/03/2018). – Banyak pengrajin Batik di Bojonegoro, salah satunya Hj. Sri Supatmiati (63 th), pengrajin sekaligus Pemilik Usaha Batik Jumput asal Desa Prayungan, Kecamatan Sumberrejo, Bojonegoro, Jawa Timur. Beliau mengemukakan, pengrajin batik jumput harus berani mengembangkan motif batik, tidak hanya berkutat pada motif lama, agar bisa berkembang (7/3/18), Usaha yang digeluti sejak 1989 tersebut Mulai Tembus Pasar negara tetangga. Produksi kain batik khas Bojonegoro tersebut terus berkembang, bahkan pasar produk itu kini telah sampai di Pasar Luar Negeri.
Dua perempuan duduk di ruang belakang rumah keluarga H. Isa Ashari di Desa Prayungan, Tangan perempuan itu dengan terampil mengambil karet yang digunakan mengikat kain merah. Satu per satu, dengan tekun, keduanya melepas ikatan setelah kain dicelup dengan pewarna. Setelah itu, kain tersebut dijemur untuk dikeringkan.
Sekilas, kain batik yang diproduksi keluarga Isa Ashari itu memang tampak biasa. Pada kain hanya ada motif-motif bulat, kembang, atau bintang. Tapi, ternyata di situlah letak keindahan kain batik tersebut. “Di Bojonegoro sini, batik jumput adanya ya di sini (Prayungan, Red),” terang Isa Ashari kepada wartawan koran ini.
Disebut batik jumput lantaran cara membuatnya. Yakni, kain putih polos belakangnya diberi biji-bijian kecil, lalu dijumput dengan ujung jari dan biji tersebut ditali karet. Setiap satu kain, bisa sampai ratusan biji yang diikat karet gelang tersebut.
Tahap selanjutnya, kain diwarna sesuai dengan selera. Hasilnya, bekas karet pengikat biji tadi tidak terkena pewarna kain, sehingga menjadi motif batik.
Menurut Isa, pihaknya mulai membuat batik jumput setelah mengikuti pembinaan kelompencapir yang mengajarkan cara membuat batik jumput, yakni pada 1990. Sejak saat itu, dia mencoba membuat batik yang lain dari tradisi batik yang ada.
Sumber Foto : blokbojonegoro.com
Kali pertama dia membuat kain batik jumput untuk taplak meja dan seprei. “Ternyata laku, sehingga saya terus mengembangkannya sampai sekarang,” tuturnya.
Dia mengakui bahwa batik jumput sebenarnya juga diproduksi di daerah lain seperti di Jogjakarta dan Solo. Namun, di Jogjakarta dan Solo batik jumput belum berkembang baik karena kalah dengan batik tulis.
Isa menambahkan, awalnya dia mengerjakan semua proses membatik sendiri. Namun, sejak 2002 dia mulai mempekerjakan karyawan, terutama dari kalangan ibu-ibu rumah tangga. Kini, dia memiliki sekitar 36 karyawan.
Para karyawannya tersebut ada yang mengerjakan batik jumput di rumah masing-masing dan hanya pewarnaan yang dilakukan di rumah (H. Isa Ashari).
Lantaran ketatnya persaingan di pasar kain, Isa harus memutar otak agar batik jumput tetap eksis. Saat ini, dia mencoba membuat corak khas sendiri yang berbeda dengan kain batik lainnya. Kekhasan itu di antaranya terletak pada ketajaman warna yang dipilih, seperti merah menyala, hijau matang, biru, dan ungu.
“Warna batik jumput di sini cerah-cerah. Dan kita tidak hanya menyediakan kain, tapi juga dalam bentuk pakaian,” terangnya.
Soal harga, batik jumput tidak mematok harga tinggi. Yakni, antara Rp 15 ribu sampai Rp 100 ribu per lembar. Namun, untuk pakaian jadi bisa mencapai Rp 200 ribu per buah. “Harganya memang mahal karena kita menggunakan tangan,” imbuhnya.
Saat ini, tambah dia, distribusi kain batik jumput telah menjangkau pasar di beberapa daerah di Jatim, Jateng, bahkan Singapura. Selain itu, sejak tahun lalu hingga kini dia 3 kali mengikuti pasar lelang di Surabaya untuk memasarkan produk tersebut. Hasilnya, omzet penjualan kain batiknya pun meningkat. Kini, omzet setiap bulannya mencapai Rp 50 juta.
Satu hal yang masih menjadi obsesi Isa, yakni batik jumput menjadi seragam para birokrat seperti batik gedog di Tuban. (WebDesa/Admin Desa)